Ada banyak agama di dunia ini. Masing-masing
mereka mempunyai ajarannya sendiri. Manakala suatu agama tidak lagi dijalankan
dengan dilandasi pemikiran & hati nurani melainkan dijalankan dg dilandasi
ajaran doktrin & menganut asas “pokoknya”, akan membuat seorang penganut
agama menjadi dibutakan oleh fanatisme akan kebenaran apa yg diyakininya
sendiri tanpa membuka hati & pikirannya lebih jauh.
Pada saat pemeluk agama saling bertikai,
pada saat orang berperang dan membunuh hanya karena perbedaan, banyak orang
berpikir kenapa bisa jadi begini? Kenapa agama yg seharusnya jadi acuan untuk
bersikap & bertindak lebih baik, justru menjadi pangkal permasalahan untuk
saling menghancurkan dan saling membunuh? Hal ini telah membawa banyak orang
yg (maaf) malas berpikir telah dg mudah menyimpulkan bahwa
sesungguhnya semua agama itu sama, semua agama itu benar(termasuk semua
ajarannya?), meskipun pandangan ini akan berarti juga mengatakan bahwa
tidak ada kebenaran yg hakiki (absolute), dan bahwa kebenaran itu adalah
relatif, yaitu tergantung melihatnya dari pandangan siapa (benarkah
bahwa Tuhan tidak pernah membuat suatu kebenaran yg hakiki dan hanya membuat
suatu kebenaran yg relatif?). Bahkan lebih celaka lagi ada yg lantas
menyimpulkan bahwa agama memang adalah sumber perpecahan, maka tidak layak
untuk diikuti(Tuhan membuat suatu ajaran perpecahan? Atau apa mungkin Tuhan
memang tidak pernah membuat agama?). Mereka mengatakan hanya akan percaya
pada Tuhan secara langsung, tanpa membutuhkan lagi agama. Sebab apa gunanya
memeluk suatu agama jika hanya menjadi sumber perpecahan dg orang lain? (Saat
itu mungkin tanpa mereka sadari, sang Iblis sedang terkekeh-kekeh menertawai
mereka..)
Benarkah pandangan demikian? Benarkah
pandangan bahwa semua agama adalah sama? Benarkah tidak ada kebenaran hakiki
itu, dan yg ada hanyalah kebenaran yg relatif? Atau bahwa agama adalah sumber
perpecahan yg tidak layak untuk diikuti? Bahwa sebaiknya beragama saja tanpa
ber-Tuhan karena banyak orang yg saling bertikai, berperang, dan membunuh dg
mengatas-namakan Tuhan? Atau sebaiknya ber-Tuhan saja tanpa ber-agama karena
justru ajaran agama-lah sebenarnya yg menjadi sumber perpecahan, jadi cukup dg
percaya pada Tuhan dan berbuat baik, titik.
Baiklah, kita akan coba
analisa satu per-satu.
Kalau misalnya semua agama itu sama dan
bertujuan untuk menyembah Tuhan yg sama, mengapa justru pada kenyataanya semua
agama itu ditampilkan berbeda?
Kalau anda mengatakan semua agama itu
menyembah Tuhan yg sama, apakah anda tahu kalau dalam agama Budha itu tidak ada
figur Tuhan seperti dalam konsep agama-agama pada umumnya? (saya juga pernah
berdiskusi dg umat Budha intelek, seorang yg juga mengaku “beragama dg logika”
bukan dg doktrin, yg telah meninggalkan agama lamanya Kristen Katolik, sebelum
akhirnya singgah di agama Budha, tentang konsep ketuhanan dalam Budhism).
Dalam agama Budha tidak ada konsep Tuhan yg menciptakan seluruh alam
semesta spt umumnya terdapat dalam agama-agama lain.
Di sana juga tidak ada konsep Tuhan yg
menjadi hakim penentu dalam timbangan amalan baik & buruk dari seorang
manusia, yg ada adalah konsep reinkarnasi spt yg dipercaya umat agama Hindu yg
ditentukan oleh “Karma”, karma baik akan membawa kelahiran kembali yg lebih
baik, karma buruk akan membawa kelahiran kembali yg buruk, bahkan menjadi bisa
makhluk yg lebih rendah spt binatang.
Apa yg dianggap “Tuhan” oleh orang Budha
awam dan dibuatkan patungnya untuk disembah adalah sosok manusia bernama Sidharta
Gautama (yg sebelum menyampaikan ajarannya sebenarnya adalah seorang
beragama Hindu) sang pencetus ajaran itu yg sebenarnya memang tidak
pernah mengaku sbg Tuhan, hanya sbg orang yg telah berhasil mencapai tingkat
spiritual tertinggi yg disebut dg “Nirwana”. Ia dianggap sbg Tuhan
karena ia dianggap maha melihat, maha mendengar, maha bijaksana, maha pengasih
dan penyayang, dan maha-maha yg lain kecuali maha pencipta, yg sebenarnya ia
dianggap punya kemampuan demikian adalah karena taraf spiritualnya yg telah
mencapai Nirwana itu tadi. Apakah hal ini sama dg di agama-agama lain spt Islam,
Kristen, dan Hindu yg menyatakan adanya Tuhan yg menciptakan alam semesta ini,
dan yg menjadi hakim penentu dalam timbangan amalan baik buruk dari seseorang?
Kalau agama Hindu menyatakan
manusia itu harus dibedakan pada berbagai tingkatan derajat yg dinamakan
sistem Kasta (yg tertinggi adalah kasta “Brahmana” bagi
para pendetanya dan terendah adalah kasta “Sudra” untuk orang pekerja biasa),
dan mempunyai bermacam-macam Tuhan(beberapa orang India beragama
Hindu yg saya kenal mempunyai “Tuhan”-nya sendiri-sendiri yg berbeda satu sama lain
yg mereka pajang gambarnya di rumah & meja mereka masing-masing), apakah itu
sama dg umat Kristen yg menyatakan mempunyai Tuhan yg “satu tapi tiga”,
dan umat Islam yg menyatakan ke-Esa-an Tuhan secara murni dg syahadatnya
bahwa “tiada Tuhan selain Allah”dan menyatakan bahwa semua manusia
di hadapan Tuhan adalah sama ?
Apakah kalau agama Kristen menyatakan
bahwa Yesus itu adalah Tuhan, adalah seorang putra Tuhan, seorang anggota
dari “Tuhan yg satu tapi tiga”, kalau mereka menyatakan bahwa
seorang Yesus yg juga makan, minum, tidur, lahir dan mati seperti juga manusia
yg lain adalah seorang Tuhan, apakah sama dg Islam yg menempatkan Yesus
sbg seorang manusia biasa (yg luar biasa) yg dipilih menjadi utusan Tuhan untuk
bangsanya ?
Kalau Islam menetapkan bahwa syarat nomor
satu untuk menjadi umat Islam adalah dg membuat pengakuan keimanan (syahadat)
bahwa “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”,
apakah umat Budha juga mengakui Allah sbg Tuhan, dan yg menciptakan alam
semesta ini? Apakah umat Kristen juga mengakui Allah adalah Tuhan yg Esa, yg
bukan “salah satu dari yg satu tapi tiga”? Apakah umat Budha, Hindu, Kristen
juga mengakui bahwa Muhammad adalah seorang utusan Tuhan untuk seluruh umat
manusia (termasuk mereka)?
Itu baru untuk agama-agama besar dunia saja,
belum lagi agama-agama kecil lainnya yg bisa jadi mempunyai konsep ketuhanan dan
ajaran yg juga berbeda jauh dg agama-agama besar itu. Jadi apakah memang semua
agama itu sama..?
Bila merujuk pada apa yg dipercayai oleh umat masing-masing agama, sangat jelas
semuanya tidak sama.
Orang yg mengatakan semua agama adalah
sama, bila merujuk pada apa yg diyakini umat masing-masing agama, (secara umum
menurut pandangan umat masing-masing agama) pada hakikatnya adalah seperti bukan
orang beragama.
Karena kalau seseorang berpendapat semua agama adalah sama, maka dia harus
menyetujui bahwa konsep Tuhan dan semua aturan dalam semua agama adalah sama.
Dan bila ia melakukan itu, bisa jadi dalam
pandangan umum umat masing-masing agama ia sudah dianggap murtad dan kafir dalam
setiap agama (jadi sebenarnya saat itu ia seperti tidak sedang memeluk agama
apapun..! )
Juga bila semua agama adalah sama maka
tidak ada masalah jika anda memeluk agama apapun ataupun berpindah ke agama
apapun setiap bulannya. Jadi kalau ada seorang Islam yg berkata spt itu,
mestinya tidak masalah kalau ia harus pindah ke agama Kristen, Hindu, Budha,
dll. sesering mungkin, demikian juga sebaliknya. Tapi apakah mereka mau? Tidak.
Mereka tidak mau. Sangat sulit bagi seseorang untuk bisa berpindah agama, hanya
mereka yg benar-benar telah menemukan alasan yg tepat secara pribadi-lah yg mampu
melakukannya. Kalau begitu apakah mereka benar-benar menganggap semua agama sama?
Tidak.
Sesungguhnya tidak pernah ada orang yg benar-benar dari pikiran dan hati
nurani-nya menyatakan bahwa semua agama adalah sama, hanya alasan tertentu
untuk kondisi sosial-lah yg memaksa mereka untuk menyetujui hal itu.
Jadi semua agama memang berbeda
kalau menurut ajaran yg diyakini umatnya masing-masing secara subyektif, namun
kalau anda mempelajari agama-agama tsb langsung dari kitab sucinya (bukan
semata-mata menurut apa yg diyakini umatnya), karena inti dari ajaran
agama adalah kitab sucinya, dan juga mempelajari sejarah agamanya dan
sebanyak mungkin informasi tentang agama tsb, anda akan menemukan hal-hal yg sangat
menarik.
Lantas apakah benar pendapat bahwa tidak
ada kebenaran yg hakiki, karena semua kebenaran adalah relatif, tergantung dari
siapa yg memandang, dan hal ini terbukti dalam ajaran agama yg berbeda-beda?
Sedangkan tidak mungkin Tuhan mengajarkan hal yg salah pada manusia..?
Penganut paham ini memang umumnya
menyimpulkan pendapatnya berdasar dari berbedanya ajaran masing2x agama,
sedangkan agama pasti akan mengajarkan kebaikan dan kebenaran dari Tuhan,
karena itu-lah mereka berpendapat bahwa kebenaran itu pastilah hanya
merupakan hal yg relatif, yg berbeda antara satu orang dg orang lain, yg
berbeda antara satu agama dg agama lainnya, tapi semuanya bernilai kebenaran.
Sesungguhnya hal ini juga berhubungan dg
pembahasan di atas tadi, bahwa semua agama itu sama atau berbeda adalah umumnya
hanya disimpulkan secara gampang dari apa yg menjadi keyakinan dari umatnya
saja, tanpa mau susah-susah untuk mencarinya lebih jauh.
Sedangkan apa yg dipahami dan diyakini oleh umat suatu agama adalah belum
tentu merupakan ajaran yg terdapat dalam kitab sucinya,
karena banyak hal yg bisa mempengaruhi
ajaran suatu agama saat disampaikan pada umat, seperti budaya setempat,
pemikiran & pendapat pribadi si pendeta/ulama, dan ajaran-ajaran lain yg
sebenarnya tidak diajarkan oleh ajaran dalam kitab sucinya.
Jadi kalau orang mau lebih “ke dalam”
untuk mencari informasi dg mempelajari kitab suci,sejarah, dan sebanyak
mungkin informasi tentang agama-agama tsb, pastinya ia akan menemui hal-hal menarik
yg mungkin bisa sangat berbeda dg pemahamannya selama ini (bahkan mungkin dg
apa yg didapat dari ajaran para pendeta/ulamanya sekalipun). Karena
sesungguhnya pasti ada yg dinamakan kebenaran hakiki itu.
Tuhan tidak mungkin tidak membuat suatu kebenaran yg hakiki.
Disamping kebenaran relatif yg memang ada,
pasti juga ada kebenaran yg hakiki, sedangkan di dunia saja banyak
hal yg dapat menjadi contoh adanya kebenaran yg hakiki itu, kebenaran yg
(seharusnya) sama benarnya dalam semua pandangan orang (dan dalam pandangan
semua agama)
Jadi jangan cepat mengambil kesimpulan
bahwa semua agama itu memang sama ataukah semua agama memang berbeda, apakah
kebenaran hakiki itu ada ataukah yg ada hanya kebenaran relatif saja. Hanya
dengan mempelajari agama-agam lebih dalam dari kitab-kitab sucinya, sejarahnya, dan
informasi lainnya, kemudian membuat studi komparatif diantara mereka dg jujur
dan obyektif berlandaskan pemikiran dan hati nurani-lah yg akan dapat membawa
seseorang lebih mudah dalam memahami permasalahan ini.
Bagaimana dg pandangan bahwa sebaiknya
beragama saja tanpa ber-Tuhan karena banyak orang yg saling bertikai,
berperang, dan membunuh dg mengatas-namakan Tuhan?
Dalam pandangan saya, sesungguhnya yg
layak bisa disebut sebagai agama itu adalah yg bernilai“ketuhanan”,
artinya mengajarkan unsur-unsur ketuhanan. Bila sebuah agama tidak
mengajarkan unsur ketuhanan bahkan menolak adanya konsep “Tuhan”, ia tidak ada
bedanya dg ajaran filsafat dan ajaran kebaikan buatan manusia lainnya.
Sesungguhnya banyak hal yg akan jadi
“pertanyaan besar” apabila orang hanya beragama saja tanpa ber-Tuhan. Pada siapakah kita tujukan
kalau berdoa dan mengadu bila hati sedang kering dan galau? Kekuatan apakah
(atau siapakah) yg membangkitkan manusia dari kematian pada hari kiamat nanti?
Ataukah tidak ada hari akhirat dan kehidupan manusia berakhir setelah
kematiannya di dunia ini? Lantas apa tujuan manusia lahir dan hidup di dunia
ini dg kondisi yg seperti ini?
Ataupun siapakah yg telah menciptakan alam
semesta beserta isinya yg sangat menakjubkan ini? Siapa pula yg mengaturnya
menjadi demikian teratur, misalnya spt bumi berputar mengelilingi matahari,
bulan mengelilingi bumi, bumi punya atmosfir untuk melindungi bumi dari radiasi
matahari, manusia dan hewan masing-masing mempunyai struktur tubuh dan metode
pencernaan yg berbeda-beda dan bekerja dg sistem yg sungguh luar biasa, dll. dll.
? Bagaimana semua itu ada dan berjalan? Begitu saja? Tidak adakah yg
menciptakan semua kedahsyatan itu? Sedangkan kalau tulisan di blog anda
dikatakan tidak ada yg menciptakan, atau ada dan muncul secara tiba-tiba saja
mungkin anda tidak akan terima, bagaimana bisa manusia mengatakan kalau semua
sistem yg ada dan bekerja dg luar biasa itu tidak ada yg menciptakan, tidak ada
yg mengatur, dan sudah ada begitu saja..? Butuh pemikiran yg jernih
untuk menjawabnya.
Lantas kalau bukan ajaran dari Tuhan,
agama yg dianut itu menggunakan ajaran buatan siapa? Buatan manusia? Sesuatu yg
dibuat oleh manusia tidak pernah mampu mencapai nilai sempurna yg mampu
menyelesaikan semua masalah.
Singkatnya,
akan banyak sekali pertanyaan dari logika normal yg perlu dijawab (dan akan
sulit sekali dijawab) kalau manusia hanya beragama tapi tanpa ber-Tuhan.
Jadi mestinya hal ini juga tidak benar.
Harus ada konsep yg lebih baik dari itu.
Lantas bagaimana dg yg mengatakan bahwa
mereka tidak perlu mempercayai agama, hanya perlu percaya pada Tuhan,
melaksanakan keinginan Tuhan, dan berbuat baik..?
Benarkah pendapat hanya percaya pada Tuhan, bukan pada agama, adalah pilihan yg bagus? Biasanya orang punya pandangan spt ini kalau ia menganggap semua agama adalah salah dan/atau agama hanyalah sumber perpecahan yg tidak pantas untuk diikuti.
Coba kita analisa masalah ini.
Anggaplah semua orang menganut pemikiran
yg sama dg itu, lalu tidak ada lagi orang yg menganut suatu agama, mereka hanya
merasa perlu mengenal Tuhan dan berbuat baik tapi tanpa melalui agama. Kira-kira apa yg akan
terjadi? Satu hal yg perlu dijawab di sini adalah
bisakah orang mengenal Tuhannya tanpa melalui agama? Kalau anda ditanya seperti apakah Tuhan itu? lalu anda menjawab : Tuhan itu yg menciptakan alam semesta, Tuhan itu Maha Esa, Tuhan itu penuh kasih, dll, dari manakah anda mengetahui hal itu kalau bukan dari agama? Kalau misalnya anda lahir dan dibesarkan tanpa pendidikan agama sama sekali, apakah anda yakin pada saat dewasa anda akan mampu untuk mengetahui seperti apa Tuhan itu? Tidak. Kita semua merasa mengenal & mengetahui Tuhan itu seperti apa adalah melalui pendidikan agama yg kita terima sejak kecil, atau merupakan hasil pemikiran kita setelah dewasa yg masih berdasar pada pemikiran agama atau dg melakukan komparasi terhadap agama-agama. Tanpa itu kita akan cenderung untuk“menciptakan” sendiri Tuhan yg sesuai menurut pemikiran & kehendak kita, tanpa kita mempunyai rel untuk membatasi imajinasi kita untuk “menciptakan” Tuhan versi kita sendiri itu.Dan bila sudah begitu, orang akan menjadikan diri mereka “lebih” dari Tuhan, karena mampu untuk “menciptakan” Tuhan mereka sendiri, sedangkan Tuhan saja tidak bisa menciptakan Tuhan, karena Tuhan bukanlah ciptaan, melainkan pencipta. Kalau ada sesuatu yg diciptakan, itu pasti bukan Tuhan.
bisakah orang mengenal Tuhannya tanpa melalui agama? Kalau anda ditanya seperti apakah Tuhan itu? lalu anda menjawab : Tuhan itu yg menciptakan alam semesta, Tuhan itu Maha Esa, Tuhan itu penuh kasih, dll, dari manakah anda mengetahui hal itu kalau bukan dari agama? Kalau misalnya anda lahir dan dibesarkan tanpa pendidikan agama sama sekali, apakah anda yakin pada saat dewasa anda akan mampu untuk mengetahui seperti apa Tuhan itu? Tidak. Kita semua merasa mengenal & mengetahui Tuhan itu seperti apa adalah melalui pendidikan agama yg kita terima sejak kecil, atau merupakan hasil pemikiran kita setelah dewasa yg masih berdasar pada pemikiran agama atau dg melakukan komparasi terhadap agama-agama. Tanpa itu kita akan cenderung untuk“menciptakan” sendiri Tuhan yg sesuai menurut pemikiran & kehendak kita, tanpa kita mempunyai rel untuk membatasi imajinasi kita untuk “menciptakan” Tuhan versi kita sendiri itu.Dan bila sudah begitu, orang akan menjadikan diri mereka “lebih” dari Tuhan, karena mampu untuk “menciptakan” Tuhan mereka sendiri, sedangkan Tuhan saja tidak bisa menciptakan Tuhan, karena Tuhan bukanlah ciptaan, melainkan pencipta. Kalau ada sesuatu yg diciptakan, itu pasti bukan Tuhan.
Dan bila sudah demikian tidak akan ada
lagi perbedaan misalnya dengan jaman jahiliyah pra Islam nabi Muhammad dahulu
dimana orang bisa memilih & menciptakan Tuhannya sendiri, kemudian membuat
patungnya, lantas menyembahnya. Tidak heran kalau pada jaman pra Islam nabi
Muhammad dulu, di dalam Ka’bah konon terdapat ratusan “Tuhan” yg dibuat dalam
berbagai macam bentuk dan bahan, lha setiap orang ingin membentuk sendiri Tuhan
yg sesuai dg selera mereka tanpa ada yg membatasi…!
Jadi pandangan untuk tidak perlu mempercayai agama, hanya perlu untuk
percaya pada Tuhan saja adalah pandangan yg bisa sangat menyesatkan.
Katakanlah ada orang-orang yg mungkin saja
mampu melakukannya (merefleksikan Tuhan dg benar tanpa melalui agama), berapa
persen-kah jumlahnya dari keseluruhan jumlah umat manusia ? Danselain
beberapa gelintir orang yg mampu merefleksikan Tuhan dg benar itu, bisa jadi
masih akan ada berjuta-juta “Tuhan” yg berbeda yg telah
diciptakan oleh masing-masing orang yg lain sesuai dg imajinasi, harapan, dan
keinginannya akan figur Tuhan. Mampukah anda membayangkan apa yg akan
terjadi dg kondisi seperti itu..?
Melaksanakan keinginan Tuhan..? Keinginan Tuhan yg mana?
Bagaimana kita bisa tahu apa yg diinginkan Tuhan kalau kita tidak
“mengenal-Nya” dg baik? Sedangkan sudah kita bahas diatas bahwa tidak mungkin
kita bisa mengenal Tuhan dg benar dan mengerti apa yg diinginkan Tuhan tanpa
melalui agama, dan
mencoba mengenal Tuhan tanpa melalui agama adalah dekat sekali dg
kesesatan.
Berbuat baik..? Berbuat baik
seperti apa? Apa patokan sebuah perbuatan itu adalah baik atau buruk? Ya,
Agama! Tanpa itu orang akan cenderung untuk menetapkan sendiri standard baik
& buruk. Lantas bila bukan agama, apa yg jadi patokan bahwa sebuah
perbuatan itu baik bagi kita & orang lain, dan benar2x bernilai baik
menurut Tuhan? Hukum setempat yg berlaku? Hukum produk manusia tidak pernah
dapat menyelesaikan semua persoalan dg baik. Bila pembuat hukumnya
kebetulan orang yg “benar”, maka hukum yg dibuat bisa bagus, tapi kalau pembuat
hukumnya kebetulan seorang yg “tidak benar” maka apa yg mestinya benar bisa
jadi salah, dan yg mestinya salah bisa jadi benar. Jadi apakah hukum yg
berlaku selalu dapat dijadikan patokan berbuat baik? Tidak.
Sebab walaupun sangat mungkin seseorang
bisa menjadi “orang baik” dg mengikuti agama apapun (bahkan tanpa beragama
sekalipun) tapi tanpa bimbingan suatu fondasi yg benar sangat mungkin suatu
saat nanti dia akan bisa tersesat karena menganggap tindakannya benar, padahal
sebenarnya tidak. Berbuat baik bisa punya ukuran yg berbeda pada setiap
orang. Hal ini karena “kebaikan” bagi seseorang belum tentu juga merupakan
“kebaikan” bagi orang yg lain (ini sudah merupakan hukum alam), dan
siapa yg menjadi hakim penilai kebaikan yg mana yg sesungguhnya adalah kebaikan
yg hakiki dan bernilai di mata Tuhan? Tidak lain adalah Tuhan sendiri. Melalui
apa? Melalui pikiran masing2x orang? Pikiran orang bisa tidak sama, dan
manusia bukan mahkluk yg sempurna yg selalu mengetahui mana yg benar dan mana
yg tidak benar. Lantas melalui apa? Ya, melalui agama tentunya.
Jadi pendapat bahwa manusia dapat berbuat baik saja tanpa menggunakan
patokan agama adalah tidak mungkin dan dapat sangat dekat dengan kesesatan.
Dan karena orang mengenal perbuatan
baik-buruk adalah dari agamanya, maka sangat penting untuk mengetahui
apakah ajaran suatu agama adalah benar-benar ajaran yg berasal dari Tuhan.
Karena bila apa yg kita yakini itu ternyata bukan berasal dari Tuhan, tentunya
suatu saat kita bisa terkena hukum alam bahwa produk buatan manusia itu tidak
sempurna dan pasti mengandung cacat yg suatu saat bisa menjerumuskan kita pada
kesesatan.
Nah kalau agama itu ternyata bukan berisi
nilai-nilai dari Tuhan sendiri, apakah mungkin bisa 100% selalu memberikan penuntun
yg baik bagi umatnya? Tentu tidak, manusia butuh agama yg benar-benar bernilai
ajaran Tuhan. Karena itulah manusia harus mencarinya. Bagaimana kita bisa tahu
ajaran agama mana yg benar-bnar bernilai ajaran Tuhan? Ya dg mempelajari agama kita
sendiri dan juga agama lain, dan melakukan studi komparasi terhadap semuanya.
Bagaimana bisa mengetahuinya sedangkan semua agama (sepertinya) mengklaim
dirinya sendiri yg benar?
Bersyukurlah bahwa Tuhan memberi manusia otak untuk berpikir dan hati nurani
untuk “merasakan” sebagai perbedaan dg makhluk Tuhan yg lebih rendah spt
binatang.
Kita harus memakai keduanya secara
seimbang sesuai porsinya, karena kalau hanya salah satu saja malah bisa
menimbulkan pemikiran yg aneh yg bisa malah “meng-agama-kan akal” atau
“meng-agama-kan hati nurani”.
Yg harus dilakukan memang adalah beragama dg logika, yg menggabungkan akal
& hati nurani di dalamnya.
Memang tidak semua orang mempunyai
kualitas intelektual yg memadai untuk melakukannya, tapi setidaknya kalau anda
dan semua komunitas blogger sudah bisa “nge-blog”, atau anda bisa membaca
tulisan ini, mestinya berarti kualitas intelektual kita semua sebenarnya sudah
mendukung untuk melakukan itu. Tinggal masalah mau atau tidak saja
melakukannya.
Sedangkan untuk bisa menilai ajaran agama
manakah yg paling benar dan dapat diandalkan sbg pegangan dan penuntun hidup,
kita tidak bisa menentukan hanya dg melihat pemeluk agama tsb. Sebab
sangat mungkin seseorang tidak menerapkan
dg benar apa yg diajarkan oleh agamanya, bahkan mungkin juga ia tidak
mengetahui dg benar bagaimana sesungguhnya ajaran agamanya.
Cara terbaik untuk mengetahui seperti apa sebenarnya ajaran suatu agama,
adalah dg mempelajari langsung dari kitab sucinya sebagai dasar dari agama tsb.
Tentu saja harus dilakukan dg dilandasi
pemikiran dan hati nurani. Sebab tanpa itu, mempelajari agama juga bisa
menyesatkan kalau salah dalam melakukan pemahaman kalau melakukannya dengan
seenaknya.
Kesimpulan :
Tuhan dan agama adalah satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan.
Untuk beragama tidaklah dapat dilakukan
tanpa adanya konsep ketuhanan di sana. Sedangkan untuk ber-Tuhan juga tidak
dapat dilakukan tanpa dilandasi ajaran agama yg benar.
Berbuat baik adalah perbuatan baik yg bernilai di sisi Tuhan dan dilandasi
dg ajaran agama yg benar yg dipahami dg logika yaitu yg berlandaskan pemikiran
dan hati nurani.
Manusia tidak dapat menjalankannya secara
terpisah-pisah, karena menjalankan bagian-bagian itu secara terpisah dapat menyeret
manusia ke dalam jurang kesesatan.
Sedangkan kerusakan yg diakibatkan oleh
pertikaian antar umat beragama itu adalah diakibatkan dari dijalankannya agama,
ketuhanan, dan kebaikan itu tidak secara bersama-sama ataupun menjalankannya
secara bersama-sama tapi tanpa dilandasi pemahaman yg berlandaskan pada
pemikiran dan hati nurani, malah hanya didasarkan pada doktrin yg mencuci otak
umat dan membuat mereka hanya menelan saja apa yg dijejalkan ke dalam otak
mereka tanpa membiasakan umat untuk berpikir, menyaring, dan mendiskusikan apa
yg mereka terima.
Maka untuk dapat memahami agama dg benar
dan membuat hidup lebih tenang dan damai, tinggalkanlah pola pemahaman agama dg
doktrin, dan biasakanlah untuk beragama dg logika, yaitu beragama yg dilandasi
dg pemikiran dan hati nurani yg jernih agar dapat menjadi pencerahan pada umat,
baik yg beragama sama maupun dg umat beragama lain.
Demikianlah sekelumit pembahasan saya
mengenai ber-Tuhan dan ber-agama. Adakah yg akan anda pilih salah satunya?
Setelah pembahasan saya diatas? Itu mutlak adalah hak anda, sebab anda
sendirilah yg akan mempertanggung jawabkannya nanti. Atau anda ada pendapat
lain..?
Source : https://religiku.wordpress.com
No comments:
Post a Comment